Oleh Prof. Dr. Zakiyuddin Baidhawy, M.Ag.
Munculnya peradaban yang makmur baik secara material dan spiritual terkait dengan usia kedewasaan umat manusia. Hal ini mengharuskan aspek kehidupan praktis dan spiritual maju bersama secara harmonis.
Peradaban material adalah salah satu sarana untuk kemajuan dunia umat manusia, hingga berjalin kelindan dengan peradaban spiritual Ilahi yang akan menghasilkan kebahagiaan. Peradaban pada hakikatnya bukan semata yang kasat mata, namun juga memiliki ruh yang tak kasat mata. Dimensi material adalah bentuk-bentuk dan manifestasi-manifestasi yang bersifat kebendaan; sementara dimensi spiritualnya berbentuk pemikiran (kebudayaan).
Kita bisa membuat suatu analogi tentang hubungan peradaban material (tangible) dan peradaban spiritual (intangible). Peradaban material ibarat kaca lampu. Peradaban spiritual adalah pelita dan kaca tanpa cahaya adalah gelap. Peradaban material seperti tubuh. Tidak peduli seberapa anggun dan indahnya, ia sudah mati.
Peradaban spiritual laksana ruh, dan tubuh mendapatkan kehidupannya dari ruh. Jika tidak, maka ia menjadi mayat. Dengan demikian telah menjadi bukti bahwa dunia material umat manusia membutuhkan ruh.
Tanpa ruh dunia material umat manusia tidak bernyawa, tanpa cahaya dunia umat manusia berada dalam kegelapan total. Agar dimensi material dan spiritual peradaban dapat maju secara harmonis, gagasan tentang kemakmuran perlu dikaji ulang.
Sarana material jelas penting untuk kemajuan peradaban, dan mencapai kemakmuran menyiratkan bahwa semua orang harus memiliki akses ke sarana tersebut. Kemakmuran, bagaimanapun, tidak dapat dipahami sebagai akumulasi kekayaan pribadi belaka.
Konsepsi individualistis seperti itu —yang kehilangan nilai-nilai peradaban spiritual— tak pelak lagi menempatkan beban yang tidak semestinya pada keinginan yang memanjakan dan cenderung memupuk kecintaan akan kemewahan. Untuk berkontribusi pada kemajuan peradaban material dan spiritual, sarana material perlu digunakan untuk tujuan yang jauh lebih tinggi: untuk menumbuhkan persatuan, untuk mengangkat dan memperbaiki kehidupan masyarakat, dan untuk memfasilitasi akses ke pengetahuan bagi semua orang.
Sebuah kata peringatan juga diperlukan tentang pemahaman kita mengenai apa itu spiritualitas. Terlalu mudah untuk memahami konsepsi ini sebagai alat untuk memaksimalkan kepuasan atau sebagai lapisan aktivitas atau ritual yang dirancang untuk menenangkan saraf dan kecemasan yang ditimbulkan oleh kehidupan materialistis.
Spiritualitas sejati mencapai ke akar keberadaan manusia: ia menembus tindakan dan menyalurkan upaya individu dan kolektif untuk perbaikan masyarakat, menumbuhkan rasa haus akan pengetahuan, mengangkat pekerjaan ke maqam ibadah, mempromosikan empati, menyediakan kontrol impuls egois, menekankan kesatuan dan keterkaitan, menumbuhkan kemurahan dan kerendahan hati, dan memelihara penghargaan terhadap keragaman dan ketertarikan pada keindahan.
Pemahaman dan definisi semacam ini sebenarnya berangkat dari pengertian mengenai hakikat manusia itu sendiri. Manusia sering disebut dengan dua sebutan, yakni manusia sebagai insan dan basyar. Insan merujuk pada sisi rasional, yaitu kemampuan mempergunakan akal dan mewujudkan pengetahuan konseptual dalam kehidupan konkret.
Basyar adalah dimensi jasmani dan aktivitas lahiriah manusia yang menjadi wilayah perwujudan hasil karya, cipta, dan karsanya. Manusia tanpa dua dimensi itu maka ia tidak akan dapat dinamakan manusia.
Sejalan dengan hakikat manusia di atas, Allah Swt. mengangkat manusia sebagai makhluk paling sempurna. Karena kesempurnaannya itu, manusia mengemban amanat sebagai Khalifah dan Abdullah.
Khalifah mengandaikan agar manusia memainkan peran dan fungsi peradaban yang bertumpu pada pengetahuan konseptual yang bertujuan untuk mencapai kemakmuran dan kesejahteraan di bumi; sedangkan `Abd adalah peran dan fungsi pengabdian kepada Allah untuk merealisasikan hukum-hukum Allah dan kebenaran-kebenaran dalam ciptaan-Nya dan mewujudkan kebersamaan hidup dalam keadilan.
Untuk memahami lebih dalam tentang dimensi peradaban Islam, Ismail Raji al-Faruqi dengan sangat baik telah merumuskan landasan utama dan turunannya, sebagaimana akan dipaparkan secara global berikut ini.
Menurutnya, tauhid adalah intisari dari peradaban Islam: intisari peradaban Islam dengan demikian adalah agama Islam itu sendiri, dan intisari tauhid adalah kesaksian bahwa Allah Swt. itu esa dan Pencipta mutlak.
Tauhid merupakan pandangan dunia (worldview) yang berguna sebagai cara memandang dan memahami tentang realitas, dunia, ruang dan waktu, sejarah manusia, dll. Pandangan Dunia Tauhid menjadi dasar bagi cara berpikir, cara bersikap, dan cara bertindak.
Pandangan dunia tauhid memandang bahwa di alam semesta itu hanya ada dua realitas, yakni realitas Tuhan dan bukan Tuhan; realitas Tuhan itu adalah esa, abadi, dan Pencipta. Sementara realitas bukan Tuhan terikat dengan pengalaman, ruang, waktu, dan merupakan makhluk atau ciptaan; oleh karena itu keduanya secara wujud tidak dapat disatukan; secara ontologi tidak dapat bertukar; dan secara eksistensi yang pertama bersifat mutlak dan yang terakhir bersifat nisbi.
Pandangan dunia tauhid memiliki sisi ideasionalitas di mana hubungan antara tatanan Tuhan dan tatanan makhluk bersifat ideasionalitas, yang sandarannya adalah pemahaman (understanding) manusia dan seluruh fungsinya – mengingat, berimajinasi, berpikir, mengamati, intuisi dan sebagainya — yang merupakan anugerah Tuhan terbesar.
Fakultas pemahaman manusia berfungsi untuk memahami kehendak Tuhan dengan cara: memahami kehendak Tuhan yang tertuang dalam firman, dan memahami kehendak Tuhan melalui pengamatan terhadap ciptaan.
Pandangan dunia tauhid memahami bahwa hakikat kosmos, baik makro maupun mikro, adalah teleologis: setiap penciptaan/ciptaan itu bertujuan, dalam arti melayani tujuan Penciptanya, dan penciptaan itu sendiri dilakukan sesuai rencana, bukan sia-sia, bukan kebetulan.
Maka dunia adalah kosmos, yakni ciptaan/makhluk yang teratur, mengikuti hukum alam atau sunnatullah, bukan chaos, tidak bertauran. Pola-pola keteraturan terpenuhi melalui keniscayaan hukum alam. Manusia mematuhi kehendak Tuhan secara berkesadaran: Fungsi fisik bersatu dengan dan mengikuti hukum alam, dan fungsi spiritualnya adalah pemahaman dan perbuatan moral yang memiliki hukumnya sendiri.
Realisasi tujuan tersebut terjadi dalam proses waktu (sejarah), sejak penciptaan hingga hari akhir, dan meruang dalam dunia. Maka manusia adalah “pembentuk” peradaban: manusia merupakan subjek tindakan moral sehingga memiliki prakarsa dan kemampuan untuk mengubah diri, masyarakat, lingkungannya. Sebagai objek tindakan moral, manusia, masyarakat dan lingkungan harus menerima tindakan manusia sebagai subjek dan manusia bertanggung jawab atas tindakan moralnya. Apakah taat atau membangkang dan siap menerima akibatnya.
Pandang dunia tauhid memiliki dimensi metodologis meliputi beberapa prinsip, yaitu peradaban dibangun atas dasar prinsip kesatuan, jalinan, dan keselarasan unsur-unsurnya. Kesatuan unsur-unsur dibangun atas dasar prioritas dan derajat kepentingan; Peradaban Islam adalah kesatuan unsur-unsur asli dan luar yang “membentuk” pola dan sistemnya sendiri; dan Tauhid adalah alat pengukur utama, pembimbing dan pencari bentuk-bentuk peradaban Islam.
Dalam pandangan dunia tauhid terkandung tiga hukum rasionalitas: Menolak semua yang tidak berkaitan dengan realitas; pernyataan seorang Muslim harus teruji secara ilmiah (berbasis ilmu pengetahuan), dengan kata lain anti-zhann; Menafikkan hal-hal yang sangat bertentangan; menghindarkan Muslim dari kontradiksi dan paradoks antara wahyu dan akal; pemahaman akan wahyu akan sejalan dengan bukti kumulatif yang ditemukan akal; Terbuka terhadap bukti baru dan atau berlawanan; melindungi Muslim dari literalisme, fanatisme, dan konservatisme yang menyebabkan stagnasi.
Dimensi toleransi dalam pandangan dunia tauhid mengandaikan penerimaan terhadap yang tampak sampai kepalsuannya tersingkap. Toleransi relevan dengan epistemologi dan relevan dengan etika sebagai prinsip menerima apa yang dikehendaki sampai ketaklayakan tersingkap.
Toleransi melindungi Muslim dari menutup diri dari dunia, dari konservatisme; terbuka atas pengalaman baru. Sebagai prinsip metodologis, toleransi adalah keyakinan bahwa Tuhan tidak membiarkan umat-Nya tanpa mengutus rasul yang membawa petunjuk Tauhid, dan tandzir atas kejahatan dan penyebabnya.
Toleransi adalah kepastian bahwa keanekaragaman agama terjadi karena sejarah dengan faktor-faktor yang memengaruhinya –ruang, waktu, prasangka, keinginan, kepentingan-. Toleransi menuntut Muslim belajar sejarah agama-agama untuk menemukan al-din al-hanif sebagai inti risalah semua kenabian. Toleransi mengubah konfrontasi dan saling kutuk antaragama menjadi kerjasama penelitian ilmiah tentang sejarah agama-agama.
Tulisan ini juga dimuat di Kolom Publika Solopos