Moderasi Islam: Tradisi, Modernitas, dan Kontemporer (Bagian 2)

Oleh Prof. Dr. Zakiyuddin Baidhawy, M.Ag.

Kontribusi luar biasa tentang tradisi dan modernitas diberikan filsuf Maroko Mohammed Abed Al-Jabiri. Dalam karya-karyanya, Al-Jabiri menyoroti isu tradisi dan modernitas dari sudut pandang berbeda. Ia memulai sebuah proyek pada awal 1980-an dalam empat publikasi yang membahas tentang tradisi dan wacana pemikiran Arab kontemporer.

Selain itu, memulai proyek yang ia terbitkan dalam tiga volume berturut-turut. Tujuannya adalah untuk menganalisis, memahami, dan mengevaluasi pemikiran, pikiran, dan mentalitas Arab di balik warisan besar yang dianggap sebagai zaman keemasan peradaban Arab. Dia bertujuan untuk memahami faktor-faktor di balik evolusi tradisi dan proses evolusi tradisi.

Jilid pertama karya Al-Jabiri dalam seri tentang kritik terhadap pikiran Arab. Ia memulai studi ini dengan mengadopsi metodologi conjecture refutation dari semua tradisi yang diwariskan. Dia pertama-tama memperkenalkan gagasan menggunakan kata ‘pikiran’ untuk menunjukkan bukan organ manusia, melainkan proses analisis-sintesis di mana pikiran manusia menghasilkan pengetahuan dan ilmu pengetahuan.

Dia menyebut apa yang berhubungan dengan orang Arab sebagai Arab mind yang berarti proses berpikir yang menghasilkan sastra, ilmu pengetahuan, dan lain-lain sebagai sarana dan konteks. Dia berpendapat bahwa memahami proses di mana pikiran Arab berfungsi sebagai sarana dan aksioma kontekstual pada akhirnya akan memperjelas perbedaan antara pikiran Arab dan pikiran Prancis, Inggris, atau Eropa, dengan cara yang menghasilkan pengetahuan dan warisan sebagai suatu proses daripada sebagai produk.

Al-Jabiri berpendapat bahwa untuk dapat berpikir dalam lingkungan sosial budaya tertentu, tidak cukup memikirkan masalah-masalahnya, tetapi pemikir harus berpikir dengan dan tentang masalah-masalahnya melalui sistem epistemologis yang merumuskan masalah-masalah tersebut dalam parameter sosial budaya. Al-Jabiri dari sudut pandang ini, mengkritik Orientalis karena menjadi “orang luar” dari budaya yang mereka pelajari.

Al-Jabiri kemudian meminjam pikiran Lalande mengenai perbedaan antara La raison Constituente dan La raison Constituee, untuk mendefinisikan ‘pikiran Arab’ yang sedang diselidiki sebagai: seperangkat aturan yang diterapkan oleh budaya Arab kepada orang Arab atau mereka yang termasuk dalam budaya itu sebagai sarana memperoleh pengetahuan, dengan kata lain sistem epistemologis.

Namun, dia menegaskan keterkaitan antara dua ‘pikiran’ yang berbeda mengingat argumen Levi Strauss bahwa La raison Constituente menyiratkan keberadaan La raison Constituee. Artinya evolusi La raison Constituente adalah hasil dari seperangkat aturan yang berlaku atau La raison Constituee lainnya.

Evolusi Budaya Arab
Hal ini membawanya untuk membuat perbandingan antara pikiran Arab sebagai produk budaya sebelumnya, khususnya Yunani, dan untuk mendeteksi pengaruh pemikiran Plato dan Aristoteles pada pembentukan dan evolusi budaya Arab.

Dia kemudian memulai penyelidikan budaya Arab sejak evolusinya sebelum era penyebaran Islam pada abad ke-7, yang membawanya simpulan bahwa waktu dalam budaya Arab telah terhenti dalam memproduksi pengetahuan budaya, dan bahwa negara-negara Arab kontemporer hidup secara budaya di era yang sama sebelum Islam, yang menyaksikan kemakmuran pengetahuan dan produksi budaya.

Kemudian dia menandai periode dalam dinasti Abbasiyah yang disebut era penulisan, di mana orang-orang Arab terlibat dalam reproduksi warisan budaya mereka hingga saat itu tidak seperti yang telah diperkenalkan atau diwariskan tetapi sebagaimana telah dipersepsikan menurut keadaan kontemporer.

Dari perspektif ini, Al-Jabiri mempelajari aspek-aspek budaya Arab. Ia memulai dengan bahasa sebagai alat dasar untuk menghasilkan pengetahuan sebagai sarana dan konteks. Dia mengajukan argumen yang menarik bahwa bahasa Arab hingga saat ini, hanyalah cerminan dari dunia Badui, dalam arti mencerminkan dan terbatas pada dunia Badui, yang menggambarkan gurun di sekelilingnya.

Al-Jabiri kemudian menyelidiki sejarah Islam sejak wafatnya Nabi pada abad ke-7 hingga pertengahan abad ke-9. Dia berargumen bahwa budaya Islam selama periode itu merupakan refleksi dan produksi agama, sebagaimana kita dapat menganggap budaya Yunani berasal dari filsafat.

Al-Jabiri berpendapat bahwa era itu menyaksikan evolusi krisis; di mana pada saat itu para elit terlibat dalam perdebatan marjinal yang dangkal, sambil mengimbangi hal-hal yang benar-benar bermakna yang harus dilakukan dengan basis perkembangan ilmu pengetahuan pada saat itu, terutama agama.

Dia kemudian meninjau apa yang dia yakini bahwa berbagai doktrin Islam berkontribusi pada evolusi krisis dengan menetapkan apa yang dikenal sejarawan sebagai perdebatan linguistik. Al-Jabiri menambahkan bahwa penyebaran interpretasi mitis dan kepercayaan pada santet berkontribusi pada penurunan budaya dan memperumit krisis, karena proses sintesis analisis yang berlaku kemudian tidak memiliki logika dan mengarah pada apa yang disebutnya ‘kelelahan pikiran dalam budaya Arab.

Sistem epistemologi
Dalam Struktur Pikiran Arab, Al-Jabiri mendefinisikan tiga sistem epistemologis yang berlaku dalam budaya Arab sejak evolusinya di era penulisan. Pertama, sistem epistemologi literal (Bayan) yang diklaim oleh al-Jabiri telah wujud dalam bahasa Arab. Sistem seperti itu menciptakan kesenjangan antara sebab dan akibat. Kedua, sistem epistemologi Sufi (`Irfan); sistem ini diperkenalkan ke budaya Arab melalui warisan pra-Islam, ketika sebuah perselisihan di awal periode Abbasiyah muncul antara pemikiran politik Sunni dan Syiah, terutama Ismail, filsafat sufi, santet, mitos, astrologi, dan sihir.

Sistem seperti itu menetapkan pandangan tertentu tentang dunia berdasarkan hubungan antara yang tak terbatas dan pasti, dan berdasarkan pemikiran spiritual, mitos dan sihir. Ketiga, sistem epistemologi logis rasional (Burhan); sistem ini diperkenalkan ke pemikiran Arab melalui terjemahan pengetahuan Yunani di era penulisan.

Sistem ini didasarkan pada ilmu dan filsafat pemikiran Yunani seperti yang dikembangkan oleh Aristoteles. Sistem seperti itu didasarkan pada kerangka kerja yang memandang dunia sebagai satu kesatuan logis, berdasarkan hubungan antara sebab dan akibat. Ia juga membangun landasan bagi pengetahuan yang merupakan hasil pemikiran rasional, dari logika tertentu hingga kesimpulan logis.

Al-Jabiri berpendapat bahwa ketiga sistem epistemologi ini berlaku dalam konteks konflik dan kontradiksi dalam budaya Arab. Konflik ini ditopang oleh pergulatan politik antara Syiah dan Sunni, yang mengarah pada adopsi sistem kedua (Sufi), dan yang terakhir sistem pertama (Bayan). Kedua kelompok ini kadang-kadang menggunakan aspek-aspek tertentu dari sistem ketiga (Burhan).

Hal ini mengakibatkan mentalitas dan pemikiran yang lemah, yang terbuka pada penerimaan tanpa padang bulu semua pemikiran dan kepercayaan, termasuk mitos dan keajaiban, dan menyangkal argumen di balik berbagai hal.

Selain itu, Al-Jabiri berpendapat bahwa pertentangan antara tiga sistem yang kontradiktif ini berakhir dengan supremasi (tasawuf) di atas Sunni serta pikiran Syiah. Dengan demikian sistem Sufi (`Irfan) bukan hanya menghancurkan dua sistem lainnya – Bayan dan Burhan — yang memperkenalkan wacana non-logis ke ranah (Bayan) dan (Burhan), tetapi juga memasuki ranah mayoritas orang yang relatif buta huruf.

Oleh karena itu, bangunan-bangunan sufi didirikan untuk memuji ranah kekuatan baru yang mengalahkan “pikiran” dan menjadi sistem yang dengannya semua aspek kehidupan sosial, politik, ekonomi, dan budaya harus dibenarkan dan saling terkait.

Al-Jabiri menggambarkan era itu sebagai penurunan peradaban yang mendeklarasikan kemunduran pemikiran Arab. Era ini menyatakan bahwa “pikiran manusia telah pensiun”, baik pikiran dalam sistem Bayan maupun sistem Burhan.

bersambung…

Tulisan ini juga dimuat di Kolom Publika Solopos

Loading