Oleh Prof. Dr. Zakiyuddin Baidhawy, M.Ag.
Agama adalah bagian dari kehidupan masyarakat manusia. Seperti semua institusi lainnya, agama menampilkan dimensi sosial dan institusional tertentu. Setiap gerakan keagamaan diwujudkan dalam sekelompok orang, dan sering diorganisasikan dalam bentuk gereja, sangha, atau ummah-jamaah.
Untuk memahami suatu iman, kita perlu melihat cara kerjanya di kalangan pemeluknya. Inilah salah satu alasan pentingnya sosiologi agama. Terkadang aspek sosial dari suatu pandangan dunia identik dengan masyarakat itu sendiri. Tetapi ada berbagai hubungan antara agama-agama yang terorganisasi dan masyarakat pada umumnya.
Suatu keyakinan mungkin merupakan agama resmi, atau denominasi, atau sekte. Selain itu, dalam organisasi agama, ada banyak model-dari tata kelola yang relatif demokratis seperti jemaat Protestan hingga hierarki Gereja Roma. Ada tokoh-tokoh karismatik yang kekuatan spiritualnya bersinar melalui sikap dan tindakan mereka.
Mereka menghidupkan iman orang-orang biasa. Mereka adalah orang-orang suci, guru, mistikus dan nabi, yang kata-kata dan teladannya membangkitkan antusiasme spiritual massa, memberikan kedalaman makna pada ritual dan nilai-nilai tradisi. Mereka juga bisa menjadi revolusioner dan memberikan arah baru pada agama.
Di bawah ini, kita akan melihat tiga aspek dari dimensi sosial dan institusional. Pertama, agama milik kelompok. Seorang anak dilahirkan dalam kelompok tertentu. Sejak saat itu agama kelompoknya menjadi bagian dari gaya hidup yang diterimanya.
Berabad-abad sebelum anak itu lahir, kelompok tersebut telah memutuskan jenis realitas ultim yang harus disembah dan bagaimana pemujaan dilakukan. Kelompok ini juga telah lama memutuskan perilaku tertentu melalui persetujuan atau penolakan supernatural.
Contoh sederhana dalam hal ini adalah masalah makanan yang boleh atau tidak boleh dimakan. Untuk beberapa tradisi agama konsumsi semua daging dilarang, sementara untuk yang lain hanya jenis daging tertentu, seperti babi, yang boleh dilarang. Dalam Islam, makanan dan minuman hukum awalnya adalah mubah, atau boleh dikonsumsi, kecuali yang dilarang. Maka komunitas muslim sejak awal pembentukan agama Islam telah diperkenalkan dan melembagakan makanan-minuman halal dan haram.
Pelarangan itu tentu saja turun dari petunjuk Allah dan RasulNya. Maka makanan-minuman haram pasti disebutkan secara jelas dalam ayat-ayat Al-Qur’an maupun hadis. Beberapa makanan yang diharamkan oleh Allah misalnya darah, bangkai, khamr, daging babi, daging binatang sembelihan bukan menyebut nama Allah, binatang tercekik, binatang dipukul, dan seterusnya.
Hal yang sama berlaku untuk norma etika yang harus disosialisasikan dan ditradisikan bersama. Sebagai contoh institusi perkawinan. Beberapa tradisi membolehkan untuk memiliki lebih dari satu istri atau suami, sementara di lain kelompok monogami. Islam pada hakikatnya sangat menekankan lembaga perkawinan monogami karena Allah menggarisbawahi pentingnya berlaku adil kepada para istri.
Poligami seringkali membuat hati lelaki condong ke salah seorang dari istri-istrinya. Namun demikian, karena alasan-alasan tertentu pintu poligami tetap dapat dibuka dengan batasan “berbuat adil, tidak condong ke salah seorang istri, dan maksimal empat istri”. Poliandri tentu saja diharamkan dalam Islam. semua norma dan lembaga perkawinan ini disosialisasikan dan dilembagakan dalam komunitas muslim.
Kelompok juga memainkan peran menentukan dalam menetapkan simbol-simbol agama. Misalnya, makna simbolis air zamzam, api, cahaya, akan sangat bervariasi dan dari kelompok ke kelompok. Simbol-simbol tersebut hanya memperoleh makna setelah kelompok tersebut mencapai kesepakatan tentang masalah tersebut. Dalam Islam, air zamzam di samping digambarkan secara mitis, juga merupakan simbol kesucian dan kesuksesan; cahaya simbol pencerahan, pengetahuan, ilmu; api simbol setan, kejahatan, kemaksiatan, dan seterusnya.
Kedua, agama dapat dipelajari. Meskipun agama-agama baru didirikan dan perubahan agama dapat terjadi, kebanyakan orang sejak lahir menemukan diri mereka dalam pola agama yang sudah mapan. Sebagian besar anak mengikuti keyakinan agama orang tuanya, lebih disebabkan oleh pengaruh sosial dan lingkungan. Begitu individu mulai tumbuh dewasa, ia mulai belajar tentang agama dan perilaku keagamaan dari masyarakatnya.
Menurut Emile Durkheim, manusia tidak pernah lahir dari “kontrak sosial”. Sejak masa prasejarah, individu-individu pada tahap awal sekali terlahir dalam kelompok–mulai dari keluarga, klan, suku, dan bangsa. Kepemilikan komunal adalah kepemilikan yang paling awal muncul dari kelompok. Segala yang sakral selalu melibatkan kepentingan komunal.
Sebaliknya, hal-hal profan adalah masalah-masalah kecil, yang mencerminkan urusan setiap individu sehari-hari. Komunitas atau masyarakat dibentuk melalui ikatan solidaritas dan konsensus. Solidaritas merupakan landasan bagi pembentukan organisasi dalam masyarakat. Konsensus adalah kesepakatan kolektif atas norma-norma dan nilai-nilai yang mengarahkan dan memberikan makna bagi kehidupan masyarakat. Apabila kedua hal ini lenyap akan terjadi disorganisasi sosial dan kultur sosial yang telah terbangun dapat runtuh.
Contoh lain bahwa manusia terikat dengan kelompoknya adalah bagaimana mereka berpartisipasi dalam kegiatan dan ritual keagamaan. Cinta atau takut terhadap makhluk gaib, misalnya, perlu dipelajari. Individu juga harus belajar untuk menjadi akrab dengan isi dan makna simbol-simbol tertentu. Tidak ada yang secara otomatis menyadari definisi simbol seperti “ruh”, “malaikat”, “iblis” atau “dewa”. Hanya di bawah bimbingan kelompok itulah simbol-simbol ini menjadi bermakna.
Ketiga, agama dapat berubah. Seiring berjalannya waktu masyarakat cenderung berubah. Karena agama merupakan bagian dari masyarakat, maka wajar jika agama juga akan terpengaruh oleh perubahan sosial. Perilaku dan pemahaman keagamaan dikembangkan oleh manusia sedemikian rupa sehingga keselarasan dapat dicapai dengan keinginan supernatural atau kebenaran ilahi.
Sebagai bagian dari masyarakat yang selalu berubah, agama sering dihadapkan pada realitas dan kebutuhan akan perubahan. Jika perubahan yang dihadapi agama tidak memengaruhi prinsip-prinsip dasar yang menjadi asas tradisi tertentu, kemungkinan agama tersebut beradaptasi dengan masyarakat yang berubah.
Contoh yang dapat disebutkan dalam hal ini adalah status dan kedudukan perempuan. Posisi perempuan, khususnya dalam masyarakat Barat, dalam beberapa hal telah mengalami perubahan besar dari satu atau dua abad yang lalu. Meski secara umum masih jauh tertinggal dari perubahan dalam masyarakat sekuler, beberapa tradisi keagamaan telah mencatat perubahan tersebut. Di mana sebelumnya hampir tidak terpikirkan untuk menahbiskan wanita sebagai imam.
Islam sendiri lahir di tengah masyarakat jahiliyah yang memperlakukan perempuan sangat rendah dan hina; bayi perempuan dikubur hidup-hidup (violence), perempuan diperjualbelikan dan diwariskan (komodifikasi), perempuan boleh dipoligami tanpa batas, perempuan tidak boleh memimpin (marginalisasi) dsb.
Di sini Islam muncul justru menjadi agen perubahan sosial-budaya bagi masyarakat Arab saat itu dengan menawarkan hubungan sosial antara lelaki dan perempuan berlandaskan asas keadilan. Islam memberikan tempat kepada kaum perempuan dalam pengambilan keputusan (policymaker), mereka memiliki hak-hak ekonomi untuk memiliki kekayaan, suami dan ayahnya tidak berhak campur tangan atas kekayaan perempuan.
Upaya-upaya perubahan sosial-budaya melalui tafsir keagamaan bertujuan untuk mengembalikan risalah Islam rahmatan lil `alamin, yang memperlakukan perempuan secara adil dan setara dengan lelaki. Adil dan setara itulah merupakan hakikat dari wasathiyyah Islam.
Tulisan ini juga dimuat di Kolom Publika Solopos