Oleh Prof. Dr. Zakiyuddin Baidhawy, M.Ag.
Islam tidak menoleransi hal-hal yang berkaitan dengan keimanan. Kemegahan dan keagungan Islam sebagai agama tauhid tentunya diukur dengan teladan Nabi SAW. Saat itu, kaum Musyirikin (kafir) telah meminta kepada Nabi SAW. untuk bergantian menganut agama. Berdasarkan petunjuk dari Allah SWT, Nabi tetap berpendirian teguh pada masalah akidah ini.
“Katakanlah:”Hai orang-orang kafir! Aku tidak akan menyembah apa yang kamu sembah. Dan kamu bukan penyembah Tuhan yang aku sembah. Dan aku tidak pernah menjadi penyembah apa yang kamu sembah. Dan kamu tidak pernah pula menjadi penyembah Tuhan yang aku sembah. Untukmu agamamu, dan untukku agamaku”. (QS. Al-Kafirun: 1-6)
Ayat ini memang ditujukan secara khusus kepada kaum Kafir yang hendak membuat suatu kesepakatan dan kompromi akidah dengan Nabi Muhammad. Mereka yang disebut Kafir (kuffar, plural) dalam ayat ini adalah orang-orang yang memang secara sengaja hendak membuat tandingan atas eksistensi Allah Sang Pencipta. Namun bukan orang-orang Kafir yang menyembah Allah. Jadi, kitab dari ayat itu adalah orang yang kufur secara akidah.
Pengulangan (tikrar) ungkapan serupa apalagi sampai tiga kali dalam surat Al-Kafirun, sebagaimana tercatat dari ayat kedua hingga kelima, menurut kaidah bahasa Arab adalah untuk menguatkan (tawkid). Ibnu Mas`ud al-Farra’ al-Baghawi menyebutnya dengan istilah tikrar al-kalam li tikrar al-waqt, artinya pengulangan kalam atau ucapan berfaidah untuk pengulangan dari segi waktu.
Konsep wasathiyyah dalam Islam juga menekankan pada sikap saling menghormati meskipun berasal dari agama yang berbeda. Keutamaan dan filosofi (akhlak) Nabi SAW. terhadap pemeluk agama lain harus menjadi contoh pada aspek multiagama. Misalnya, Hadis Nabi SAW., yang diriwayatkan oleh Jabir bin Abdullah: “Dikisahkan oleh Jabir bin ‘Abdullah: Prosesi pemakaman lewat di depan kami dan Nabi pun berdiri dan kami pun berdiri. Kami berkata: Ya Rasul Allah! Ini adalah prosesi pemakaman seorang Yahudi. Dia berkata: Setiap kali Anda melihat prosesi pemakaman, Anda harus berdiri.” (HR Bukhari). Jadi, berdasarkan hadis ini, jelas bahwa Islam sangat mendorong pengikutnya untuk menunjukkan rasa hormat dan berperilaku manusiawi kepada orang lain meskipun berbeda agama.
Dalam wasathiyyah Islam terkandung larangan untuk berbuat berlebihan atau melampaui batas dalam hal beragama (ghuluw). Dalam hadis riwayat Ibnu Abbas Rasulullah berkata: “Jauhkan diri kalian dari sikap berlebih-lebihan/melampaui batas dalam hal agama. Sesungguhnya berlebih-lebihan/melampaui batas dalam agama telah membinasakan orang-orang sebelum kalian.” (HR Ibu Majah dan al-Nasai).
Yusuf al-Qardhawi menyebutkan bahwa terdapat lima karakteristik orang yang menjalankan agama secara berlebihan atau melampaui batas. Pertama, sikap fanatisme buta dalam mempertahankan pandangan sendiri sembari menolak sepenuhnya pendapat orang lain. Karakteristik ini membuat pelakunya memandang pikiran dan pendapatnya sebagai absolut benar dan tidak bersedia menerima pendapat yang berbeda darinya.
Ia menolak dialog dan diskusi dan saling tukar pikiran. Hanya dirinya yang merasa pemilik kebenaran. Hal yang paling mengejutkan dari sikap orang semacam ini, ialah kebiasaan untuk memfatwakan ijtihad-ijtihad individualnya dalam masalah agama yang sulit dipahami dan menyeru orang lain untuk mengikuti fatwanya. Mereka acapkali memandang orang berbeda pandangan sebagai pelaku bidah, kufur dan sesat.
Rasulullah suatu ketika marah karena ada seorang imam salat yang membuat jamaahnya meninggalkan masjid karena bacaan salatnya panjang dan melelahkan. Rasulullah sendiri membiasakan bacaan yang ringan ketika menjadi imam salat, dan bahkan mempercepat bacaannya pada saat ada seorang anak menangis. Saat ini tidak sedikit orang yang berani mewajibkan suatu hal yang tak pernah diwajibkan oleh agama.
Kedua, mereka secara sembrono membuat ketetapan wajib atas sesuatu yang tidak pernah ditetapkan wajib oleh Allah SWT. dan Rasulullah SAW. Mereka terbiasa mengajak orang lain melakukan suatu perbuatan yang menyulitkan, sementara ajaran agama memberinya kemudahan. Rasulullah sendiri bila diberikan dua pilihan, maka beliau akan memilih yang paling mudah.
Ketiga, kekerasan juga menjadi karakteristik sikap berlebihan/melampaui batas dalam beragama. Dakwah Islam senantiasa menunjukkan rahmatan lil alamin
; dakwah dilaksanakan dengan bijaksana (hikmah) dan pelajaran/nasehat yang baik (
mau
izhah al-hasanah), dan diperkenankan melakukan dialog dengan cara yang baik.
Sekarang sering dijumpai dakwah dengan jalan mengumpat, menghujat, dan provokasi. Rasulullah SAW. senantiasa memberikan suri teladan terbaik dalam berdakwah dengan menunjukkan sifat kasih sayang, lemah lembut, dan tidak kasar. Al-Qur’an membolehkan bersikap tegas hanya dalam dua kesempatan: dalam perang berhadapan dengan musuh, dan pelaksanaan sanksi hukum.
Keempat, mereka suka berburuk sangka dan mudah menuduh. Mereka gampang sekali menuduh orang lain dengan keburukan, dan pada saat yang sama menyembunyikan kesalahan sendiri dan membesar-besarkan kesalahan orang lain. Sikap ekstrem semacam ini membawa mereka melakukan takfir atas orang lain. Kelima, mudah mengkafirkan orang lain. Sikap ekstrem dalam beragama ini mencapai puncaknya dengan mudah sekali mengkafirkan orang lain dan menghalalkan darah orang lain. (habis)
Tulisan ini juga dimuat di Kolom Publika Solopos