Oleh Prof. Dr. Zakiyuddin Baidhawy, M.Ag.
Akal (aql) adalah fakultas dalam diri manusia di mana kegiatan berikut berlangsung: berpikir, memahami, merenungkan, percaya atau tidak percaya, memahami, mengingat, menganalisis, merencanakan, menciptakan ide, memutuskan, belajar, menyimpan pengetahuan, bertanya, pemecahan masalah, pemrosesan dan penyaringan informasi yang dikumpulkan melalui berbagai cara, dan membentuk serta menentukan bagaimana perasaan seseorang maupun apa yang diinginkannya. Jadi akal adalah kompleksitas pikiran, perasaan, dan keinginan batin.
Dalam bahasa Arab, akal berasal dari kata aql yang muncul dalam Al-Qur’an sekitar 49 kali dalam bentuk kata kerja ‘aqala, ya’qilun, ‘aqalu, ta’qilun, na’qilu, dan ya’qilu yang mengacu pada penggunaan akal. Kocabas percaya hikmah di balik kemunculan aql di Al-Qur’an dalam bentuk kata kerja adalah karena memiliki aplikasi yang dinamis. Ini berarti jika aql digunakan dalam Al-Qur’an sebagai kata benda, itu hanya berarti akal, tetapi kemunculannya dalam bentuk kata kerja memberinya arti menggunakan akal atau mengaktifkan akal.
Oleh karena itu, kufr – kafir dan keterlibatan dalam tindakan yang salah adalah konsekuensi dari tidak menggunakan akal. Allah SWT menciptakan manusia sebagai makhluk terbaik (ahsan al-taqwim).
Akal merupakan sarana yang diciptakan Allah sebagai unsur utama yang membedakan manusia dengan makhluk lain. Akal juga merupakan keunikan makhluk bernama manusia di hadapan makhluk lain, seperti jin setan, dan juga hewan.
Akal adalah alat yang berfungsi membantu manusia memisahkan kebaikan dan keburukan. Penghargaan atas peran dan fungsi akal dalam Islam menempati posisi terhormat.
Orang-orang berilmu mendayagunakan akal untuk mentafakkuri dan mentadabburi ayat-ayat Allah, baik yang tertulis maupun yang terhampat di alam semesta (QS. Ali Imron: 190-191). Demikian urgennya memelihara akal sehingga menjadi bagian dari maqasid al-shari`ah.
Akal adalah karunia Allah kepada manusia dan dengannya manusia berkedudukan mulia. Kehilangan akal, maka sirna keutamaannya. Memelihara kemurnian akal telah disebut Al-Ghazali dan Al-Syatibi. Mereka memulai pembahasan dari segala sesuatu yang merusak akal. Pemeliharaan kemurnian akal dapat dilihat pada beberapa hal: dalam Al-Qur’an Allah SWT sangat sering mengemukakan peran dan fungsi akal melalui beragam ungkapan in kuntum ta’qilun dan la’allakum ta’qilun. Allah SWT menyebutkan akal dengan ungkapan af’idah dan qulub karena keduanya merupakan lokusnya akal.
Allah SWT menyatakan eksistensi akal merupakan alasan pemberian beban taklif pada orang akil baligh dan dengan sendirinya maka orang tidak sempurna akalnya akan terbebas dari semua taklif.
Nabi Muhammad SAW berkata hukum itu dibebaskan dari tiga keadaan, yaitu orang tertidur, anak kecil, dan orang gila (HR. Ahmad 6/100).
Allah juga menetapkan hukum haram bagi semua yang dapat menyebabkan kerusakan dan tidak berfungsinya akal. Islam memelihara akal manusia dengan mengharamkan dua hal: mafsadat hissiyah dan mafsadat ma’nawiyah. Yang pertama adalah keadaan di mana manusia menjadi hilang akal, seperti gila, tidak dapat membedakan kebaikan dan keburukan, omongannya ruwet dan kacau.
Semua jenis minuman beralkohol dan minuman keras adalah satu di antaranya. Keadaan mabuk jelas memberikan pengaruh buruk pada perilaku manusia, penglihatannya rabun, dan ucapan menceracau.
Khamr adalah awal dari semua maksiat dan karenanya Nabi Muhammad SAW mengingatkan bahayanya, ”Janganlah kalian meminum khamr karena ia adalah pintu segala keburukan” (HR. Ibnu Majah 3371).
Khamr membuat manusia saling menumpahkan darah sesama, menghambur-hamburkan uang secara sembrono, dan merusak akal. Demikianlah syariat Islam melarang khamr agar akal dapat dipelihara.
Adapun maksud mafsadat ma’nawiyah ialah pandangan keliru sehingga yang bersangkutan tidak dapat berpikir secara benar dan sejalan dengan syariat. Allah menjelaskan orang kafir adalah orang yang tidak dapat berpikir dan tidak memikirkan ayat-ayat Allah, baik yang qawliyah maupun kawniyah, serta tidak mampu mengambil manfaaat dari ayat-ayat tersebut. Pada saat yang sama Islam menetapkan hukuman hadd bagi orang-orang yang mengonsumsi khamr secara sengaja dengan 80 atau 40 cambukan. Hukuman cambuk ini bertujuan mencegah dan menghindarkan perbuatan maksiat serta memberikan dampak jera bagi pelakunya dan menyampaikan peringatan kepada orang lain yang belum melakukannya.
Salah satu tujuan wahyu adalah membimbing manusia dalam tindakan tubuh, ucapan, dan pikiran. Tindakan tubuh dan ucapan berasal dari pikiran. Dengan kata lain, pikiran atau akal adalah poros di mana tindakan tubuh dan ucapan seseorang berputar.
Berpikir adalah aktivitas akal melalui mana seseorang mengambil perintah dari tindakannya. Oleh karena itu untuk mengubah tindakan seseorang harus dimulai dengan mengubah pikirannya, cara berpikirnya. Pikiran negatif mengarah ke kehidupan negatif atau tindakan negatif, sementara pikiran positif mengarah ke kehidupan positif atau tindakan positif.
Setiap tindakan pikiran mengarah pada tindakan atau karakteristik eksternal yang serupa. Misalnya, pikiran negatif tidak mengarah pada tindakan positif. Demikian pula, pikiran positif tidak mengarah pada tindakan negatif.
Di sini karakter diartikan sebagai jejak yang menimbulkan tindakan tubuh dan ucapan (perbuatan lahiriah). Pikiran adalah dunia batin atau karakteristik batin seseorang, sedangkan tindakan tubuh dan ucapan adalah dunia luar atau karakteristik luar seseorang.
Untuk memurnikan dunia batin manusia adalah tugas sulit. Ini disebut sebagai Jihad al-Akbar – lebih besar dari perang suci. Ini adalah perjuangan batin melawan nafsu dan kebodohan, bisikan jahat, pikiran negatif dan jahat.
Semua agama mengajarkan pengikutnya terlibat dalam tindakan dan pikiran yang memelihara kualitas baik. Al-Qur’an telah memberikan formula untuk pikiran positif dan pencapaian kebahagiaan: “Orang-orang yang beriman dan hatinya menjadi tenteram dengan mengingat Allah. Karena dengan mengingat Allah tidak diragukan lagi hati menjadi tenteram” (QS al-Ra`d 13:28).
Sangat jelas dalam ayat ini bahwa ketenangan pikiran dan hati sejatinya hanya bisa terjadi melalui zikir kepada Allah (QS al-Ahzab 33:41).
Dalam upaya pemeliharaan akal, kita perlu menerapkan prinsip wasathiyyah. Akal dan fungsi nalar harus secara terus-menerus dilatih dan dididik melalui pembiasaan sehingga akal manusia menjadi seimbang antara kecenderungan rasional dan batiniahnya. Di sinilah pentingnya memahami pemeliharaan akal dalam konteks pendidikan dengan maksud mencari titik keseimbangan, tidak hanya sebagai proses penyampaian informasi, pengetahuan, dan keterampilan, tetapi juga proses transformasi diri (tazkiyah al-nafs) dan transformasi sistem.
Ilmu yang benar dan bermanfaat jika disebarluaskan dan ditafsirkan menurut prinsip wasathiyyah pada akhirnya menghasilkan orang-orang yang memiliki keyakinan agama kokoh dan tingkah laku beradab. Hal ini menjadi sangat relevan di zaman yang terus berubah karena kualitas akalnya seimbang.
Pendidikan berdasarkan wasathiyyah mengintegrasikan ilmu mental dan jasmani serta ilmu agama yang berkenaan dengan diri dan masyarakat. Penerapan wasathiyyah harus dikonsolidasikan untuk menyeimbangkan aspek kekuatan mental dan kekuatan spiritual.
Pendidikan berkualitas mampu membentuk karakter dan kepribadian teladan. Inilah dasar perjuangan Nabi SAW melakukan reformasi mental dan pendidikan guna menyempurnakan akhlak manusia.
Tulisan ini juga dimuat di Kolom Publika Solopos