Oleh Prof. Dr. Zakiyuddin Baidhawy, M.Ag.
Secara natural, umat manusia memang memiliki sifat suka mengeluh dan menyenangi sejumlah keinginan berupa anak-anak, wanita, harta yang banyak, emas, perak, kendaraan terbaik, binatang ternak dan tanah. Kecintaan dan kesenangan yang bersahaja (wasath, qawam) atas kepemilikan hal di atas dapat menumbuhkan semangat dan motivasi untuk kerja keras guna memenuhi kebutuhan hidup. Semua kesenangan ini sering disebut sebagai kebutuhan tersier (tertiary goods).
Menggunakan perhiasan, pakaian paling bagus, mempunyai kendaraan model terbaru, lemah lembut dalam tindakan dan ucapan, etiket makan-minum, kebersihan, hobi, berpakaian,rekreasi dan beragam aktivitas untuk refreshing jasmani, penyegaran pikiran, dan sebagainya. Semua itu diperbolehkan asal tidak melampaui batasan-batasan maksimal maupun batasan-batasan minimal, namun mengambil jalan moderat (qawam).
Di sinilah kita pada akhirnya perlu melihat bagaimana Al-Qur’an mengatur cara mengonsumsi barang dan jasa secara benar dan tidak melanggar batas-batas kebolehan yang telah ditetapkan. Batasan-batasan yang diterakan oleh Al-Qur’an mencakup dua hal, yaitu batasan-batasan maksimal (al-hadd al-a`la) dan batasan-batasan minimal (al-hadd al-adna). Melampaui dua batasan tersebut berarti konsumsi jatuh pada ekstremitas.
Konsumsi barang dan jasa untuk memenuhi kebutuhan jiwa pada dasarnya diperkenankan oleh Allah (mubah), sehingga ada batasan atau larangan yang menyatakan ketidakbolehannya. Al-Qur’an menyebut 4 (empat) kata kunci israf, tabdzir, taraf dan bathar untuk mendefinisikan apa yang disebut melampaui batasan maksimal dalam pemenuhan kebutuhan.
Israf berarti tindakan melampaui batas dalam setiap urusan. Tindakan melampaui batas itu berupa melewati batas kesederhanaan dalam mengonsumsi apa yang telah dihalalkan oleh Allah; membelanjakan harta dan kekayaan bukan untuk menunjukkan ketaatan pada Allah baik dalam jumlah besar maupun kecil; serta membelanjakan harta dan kekayaan bukan pada haknya.
Kebersahajaan dan kesederhanaan dalam berderma juga sangat ditekankan dalam Islam, ini agar kita tetap dapat memelihara harta (hifz al-mal) supaya tidak sia-sia dan menghabiskan modal dan untuk menjaga kelangsungan keturunan (hifz al-nasl) karena bila tidak memiliki harta dan kekayaan tidak mungkin seseorang dapat melahirkan keturunan yang layak dan generasi yang kokoh. Sifat kesederhanaan ini disebut i`tidal fi al-infaq.
Tindakan melampaui batas dalam konsumsi harta yang kedua adalah pemborosan (tabdzir). Tabdzir adalah segala yang berserak dan merusak; rusaknya harta dan infak karena pemborosan termasuk membelanjakan harta pada jalan maksiat. Hanya satu ayat Al-Qur’an yang menyatakan larangan pemborosan “Dan berikanlah haknya kepada keluarga-keluarga terdekat, orang-orang miskin, dan ibnu sabil, dan janganlah berbuat pemborosan. Sesungguhnya orang-orang yang boros itu adalah kawan setan, dan setan itu sangat ingkar kepada Allah” (QS al-Isra 17: 26-27).
Larangan terhadap pemborosan karena membuang secara sia-sia manfaat harta dan kekayaan sementara pada saat yang sama banyak orang memerlukannya. Bila kita mempunyai harta dalam jumlah melebihi yang dibutuhkan, dan pada saat itu ada banyak orang yang membutuhkan, maka kelebihan harta itu menjadi mubadzir jika pemanfaatannya tidak maksimal dengan cara meminjamkan, menyewakan, atau memberikannya secara cuma-cuma kepada yang memerlukan.
Pemborosan berkaitan dengan pemberian kepada mustahiq yang melebihi sepertiga bagian dari total penghasilan atau berwasiat lebih dari sepertiga harta disebut tabdzir. Memelihara keberlangsungan keluarga dan mewariskan mereka harta atau kekayaan yang cukup itu lebih baik daripada meninggalkan mereka dalam keadaan miskin karena harta waris habis untuk berwasiat atau bersedekah.
Batasan berikutnya ialah taraf atau bathar, yang memiliki arti sama yaitu bermewah-mewahan dalam konsumsi dan melampaui batas kewajaran. Al-Qur’an menyatakan dua istilah ini sama maknanya, yaitu bermewah-mewahan dalam kehidupan dunia, pamer kekayaan, gaya hidup snobis yang mengutamakan keberlimpahan, dan kemewahan menyebabkan kehancuran suatu kaum. Bermewah-mewahan berkenaan dengan cinta terhadap kekuasaan dan kekayaan. Orang yang hidup bermewah-mewahan mengupayakan semua cara untuk meraih kesenangan hedonistik dan menghambur-hamburkan harta dan kekayaan.
Mengapa Allah memandang konsumsi bermewah-mewahan itu melampui batas, karena perilaku ini cenderung memamerkan kekayaan secara mencolok, mengikuti tuntutan gaya hidup, sementara kelangkaan dan kesenjangan tampak di depan mata yang berakibat melahirkan kecemburuan sosial. Konsumsi dan investasi yang masing-masing melebihi sepertiga kekayaan membuat pelakunya tidak mempunyai peluang untuk berderma.
Taraf dan bathar adalah sebentuk perampasan atas hak-hak kaum mustad`afin yang ada dalam kekayaan orang-orang kaya. Perilaku konsumsi harta dan kekayaan, di samping tidak diperbolehkan melampaui batasan maksimal, juga tidak boleh melampaui batasan minimal. Melampaui batasan minimal berarti pemenuhan kebutuhan terlalu minimalis, tidak layak dan berada di bawah standar kehidupan wajar. Perilaku ini di dalam Al-Qur’an disebut kikir (qatr) dan bakhil (bukhl).
Qatr dan bukhl memiliki arti hampir serupa: qatr adalah kondisi serba kurang atau sempit dalam rizki atau nafkah dan sumber penghidupan; sedangkan bukhl berarti menahan dari membelanjakan apa yang sewajarnya dan mencukupi. Bakhil atau kikir menggambarkan bahwa seseorang suka menyembunyikan harta pemberian Allah, menahan harta yang semestinya dibelanjakan, dan mempunyai niat untuk memberikan infak atau sadaqah namun kemudian batal atau surut.
Kikir dan bakhil tidak menggambarkan kesimbangan (wasathiyyah) karena pemenuhan kebutuhan dinilai kurang layak sementara harta dan kekayaan yang dimiliki lebih dari cukup untuk memenuhinya. Kikir dan bakhil juga mengabaikan pemeliharaan kualitas keturunan dan keluarga (hifz al-nasl). Belanja terlalu minimalis bagi diri sendiri dan keluarga, baik dalam jumlah dan kualitas nutrisi dan gizi yang dibutuhkan oleh jasmani, dan ini berimplikasi pada buruknya jaminan hidup dan jaminan kesehatan yang lebih baik. Kikir dan bakhil tidak memotivasi peningkatan kegiatan produksi dan konsumsi, karena konsumsi terlalu rendah maka produksi juga menurun.
Kegiatan produksi dan konsumsi yang rendah menimbulkan kelesuan dan disinsentif dalam siklus perekonomian yang berpotensi meningkatkan angka pengangguran dan putus pekerjaan. Kikir dan bakhil juga tidak bisa diharapkan mendorong orang berbuat ihsan terhadap sesamanya, karena kekayaan dan hartanya tidak bermanfaat bagi diri sendiri dan orang lain.
Upaya memelihara harta juga ditunjukkan oleh Al-Qur’an melalui larangan riba. Larangan riba merupakan upaya agar keadilan dan keseimbangan ekonomi tercapai. Saat ini, seluruh sistem keuangan global didasarkan pada bunga pinjaman uang. Dan itu berarti menghasilkan sesuatu tanpa risiko atau tanpa usaha. Oleh karena itu, menjaga diri dari pelanggaran serius seperti itu tidak pernah mudah. Orang kaya mendapatkan keuntungan dari anggota masyarakat yang kurang beruntung. Begitulah kekayaan terkonsentrasi di tangan orang kaya. Bunga merusak sifat perdagangan dan investasi berbasis risiko, sedangkan keuntungan riil adalah hasil dari usaha dan risiko keduanya.
Tulisan ini juga dimuat di Kolom Publika Solopos
[…] bersambung… […]