Oleh Prof. Dr. Zakiyuddin Baidhawy, M.Ag.
Hal lain terkait dengan persoalan ini adalah larangan percampuran jenis kelamin (ikhtilat) secara tidak sah. Membaur atau mencampuradukkan jenis kelamin dalam Islam pada dasarnya tidak dilarang, kecuali ada alasan (‘illah), kekhawatiran bahwa hal itu dapat menyebabkan dosa lain seperti zina.
Hal ini didasarkan pada prinsip hukum “Apa yang mengarah ke haram maka haram hukumnya”, inilah yang dalam usul fikih disebut sadd al-Dhara’i yang secara harfiah berarti “memblokir/menutup sarana” (yang membawa ke haram).
Islam mengajarkan kita etika tentang bagaimana laki-laki dan perempuan harus berperilaku satu sama lain. Etika ini dirangkum dalam ayat Al-Qur’an yang mengatakan agar orang-orang beriman menundukkan pandangan mereka dan bersikap rendah hati.
Allah mengetahui apa yang mereka kerjakan. “Dan perintahkan kepada wanita-wanita yang beriman untuk menundukkan pandangannya dan bersikap rendah hati, dan diperkenankan memperlihatkan perhiasan mereka yang biasa tampak, dan agar menutupkan hijabnya hingga ke dada mereka” (QS. Al-Nur 24: 30-31).
Di bawah hukum Islam, aborsi sama saja dengan pembunuhan karena bahkan sebelum kelahiran, janin dianggap sebagai jiwa dengan hak yang membutuhkan perlindungan. Dari perspektif ini, kehidupan jiwa sejak di dalam rahim ibunya dilindungi di bawah hifz al-nafs. Larangan aborsi juga berfungsi untuk melindungi garis keturunan seseorang karena anak-anak adalah kelanjutan langsung dari garis keluarga dan dengan demikian secara otomatis melindungi naslnya (keturunan).
Untuk alasan yang sama, pembunuhan bayi yang sudah terlahir haram hukumnya. Hal itu disebutkan dalam Al-Qur’an sebagai praktik keji dari beberapa suku di Arab pra-Islam, terutama yang berkaitan dengan anak perempuan. Al-Qur’an membahas hal ini di beberapa tempat, salah satunya berfokus pada pembunuhan anak-anak karena takut akan kemiskinan. “Jangan bunuh anak-anakmu karena takut kekurangan: Kami akan memberikan rizki untuk mereka dan juga untukmu. Sesungguhnya membunuh mereka adalah dosa besar” (QS. Al-Isra 17:31).
Terkait dengan pengakuan dan penghormatan atas keturunan seseorang, adalah larangan menghina atau berbicara buruk tentang orang lain, baik mereka yang hidup atau sudah mati. Alasan di balik ini adalah bahwa dengan melakukan itu berarti telah menyakiti perasaan orang lain dan dapat merusak reputasi individu dan keluarga yang secara langsung atau tidak langsung dapat memengaruhi status sosial dari nama keluarga tertentu.
Ini terkait dengan hifz al-‘irdh (perlindungan atas kehormatan) karena reputasi seseorang juga merupakan masalah kehormatan. Menggunjing seseorang, apakah itu benar atau salah, tetap saja dilarang dalam Islam. Jika kisah itu benar, maka disebut ghibah dan jika salah itu dianggap fitnah.
Al-Qur’an sangat menentang hal ini (QS. Al-hujurat 49:12). Dan daripada menjelek-jelekkan orang di belakang mereka, kita didorong untuk menyembunyikan kesalahan mereka. Dalam sebuah hadits, Nabi Muhammad Saw. berkata: “…barang siapa menutupi aib seorang Muslim, Allah akan menutupi aibnya di dunia dan di akhirat” (HR. Muslim).
Larangan ini mencakup semua orang, hidup atau mati. Jika orang yang hidup dihina, itu dapat membuat mereka atau keluarga mereka marah, yang tentu saja mereka dapat membalas meskipun boleh jadi hanya akan meningkatkan konflik dan ketegangan dalam masyarakat. Menghina atau menyebarkan ketidakbenaran tentang orang yang sudah meninggal hanya akan merusak reputasi orang tersebut yang tidak dapat mereka tanggapi dan merugikan keturunannya yang masih hidup.
Sebuah narasi dari zaman Nabi Muhammad SAW. menggambarkan hal ini dengan indah. Setelah sahabat Ikrimah bin Abi Jahal masuk Islam, meskipun almarhum ayahnya adalah salah satu musuh bebuyutan Islam, Nabi melarang para sahabat lainnya berbicara buruk tentang dia karena hanya akan menyakiti perasaan putranya Ikrimah.
Islam melihat masalah keturunan sebagai kebutuhan bagi setiap orang, sarana untuk mengembangkan ras manusia, dan memelihara kehormatan keluarga. Memang tidak mudah mengukur kemampuan untuk menjalankan kehidupan seks sebagai suatu kebutuhan.
Setidaknya kita dapat memaknainya sebagai suatu kemampuan untuk memiliki dan membesarkan anak-anak yang sehat dan kuat. Untuk melahirkan dan menumbuhkembangkan generasi yang sehat dan kuat, maka akses pada pemeliharaan dan pelayanan kesehatan pra dan pasca kelahiran perlu didistribusikan secara adil. Di dalamnya termasuk tahapan-tahapan imunisasi bagi bayi, pengurangan angka kematian bayi pada saat kelahiran, perhatian pada anak-anak yang memiliki berat badan di bawah normal dari umurnya dan tengkes, dan sebagainya.
Jika seorang individu tidak memiliki akses pelayanan kesehatan dalam rangka melahirkan keturunan atau generasi yang sehat, maka distribusi dapat dikatakan tidak adil. Karena itu, kita dapat mendaftar sejumlah kriteria akses pelayanan kesehatan antara lain: akses kepada pemeliharaan dan pelayanan kesehatan pra dan pasca kelahiran (kesehatan reproduksi dan birth control); akses bayi kepada imunisasi untuk melawan penyakit-penyakit berbahaya umumnya; akses pada peningkatan gizi untukmeningkatkan berat badan anak-anak; akses pada pendapatan/konsumsi kebutuhan non-makanan minimum agar memiliki cukup bekal untuk keturunan mereka. (habis)
Tulisan ini juga dimuat di Kolom Publika Solopos
[…] bersambung… […]