Oleh Prof. Dr. Zakiyuddin Baidhawy, M.Ag.
Al-nasl adalah kata benda, dibentuk dari akar kata kerja Arab nasala yang berarti beranak cucu, menjadi bapak dan menjadikan. Arti kata ini ialah keturunan, generasi penerus, dan keluarga, serta berhubungan dengan garis keturunan ke bawah dari anak, cucu, cicit, canggah, dan seterusnya.
Al-nasab juga merupakan kata benda yang dibentuk dari akar kata bahasa Arab nasaba yang berarti berhubungan, menelusuri nenek moyang atau mengatributkan. Dalam konteks ini, al-nasab berarti geneologi atau ekstraksi dan mengacu pada garis leluhur ke atas, dari orang tua, kakek-nenek, kakek buyut, kakek canggah, dan seterusnya.
Dalam bahasa Inggris, istilah lineage atau garis keturunan mencakup arti al-nasab dan al-nasl sekaligus dan secara efektif adalah semua orang dalam silsilah keluarga.
Hifz al-Nasab atau Hifz al-Nasl adalah sistem perlindungan silsilah yang menjadi bagian penting dari maqasid al-shari`ah. Ajaran Islam sangat menekankan pentingnya upaya memelihara dan melestarikan al-nasab dan al-nasl. Beberapa hal urgen dalam pemeliharaan ini adalah pertama, pernikahan dengan persyaratannya.
Nabi berkata dalam sebuah hadis, “Nikah adalah sunahku. Barang siapa yang membenci sunahku, maka ia bukan termasuk umatku.” (HR Ibnu Majah, 1846).
Persatuan umat manusia –lelaki dan perempuan—melalui pernikahan sangat dianjurkan dalam iman Islam. Karena hubungan intim di luar pernikahan tidak diizinkan.
Pernikahan adalah satu-satunya cara yang sah bagi seseorang untuk mencari pemenuhan seksual dan juga untuk memiliki anak. Meskipun anjuran dan dorongan untuk menikah itu tidak serta merta bersifat wajib, hukum sebenarnya tergantung pada keadaan individu seseorang.
Pernikahan adalah landasan utama bagi setiap masyarakat di mana keluarga dibangun dan anak-anak dilahirkan ke dunia. Oleh karena itu pernikahan merupakan komponen penting dalam membangun dan memelihara garis keturunan. Penting bahwa ketika seseorang memutuskan menikah, prosesnya dilakukan dengan benar dan sesuai dengan syarat-syarat terkait, yang meliputi lamaran oleh salah satu pihak, penerimaannya pihak keluarga, adanya wali bagi mempelai wanita, mahar, kehadiran dua orang saksi laki-laki, dan pengumuman publik.
Persyaratan-persyaratan tersebut memungkinkan terjadinya persatuan baru yang merupakan awal atau permulaan pembentukan keluarga yang stabil dan bertujuan melindungi kepentingan kedua belah pihak, khususnya pengantin wanita yang umumnya dianggap sebagai pihak yang lebih rentan dalam kontrak.
Kedua, mengakui dan menghormati dari mana seseorang berasal dianggap sangat penting dalam Islam. Pengakuan dan penghormatan ini tampak jelas dan bahkan memiliki implikasi terkait pernikahan, adopsi, dan bagi mereka yang ingin menerima Islam. Tujuannya menjaga garis keluarga tetap jelas dan dengan demikian segala sesuatu yang dapat mengganggunya dilarang.
Merawat anak-anak yang kurang mampu, khususnya anak yatim adalah salah satu tindakan yang paling bermanfaat yang dapat dilakukan dan mengasuh mereka juga sangat dianjurkan. Nabi Muhammad SAW dilaporkan telah mengatakan, “Ketika seseorang meletakkan tangan kasih sayang di kepala anak yatim, untuk setiap rambut anak yatim itu dia akan menerima berkah dari Allah.” (HR. Ahad).
Satu-satunya masalah yang timbul dalam pengasuhan anak adalah adopsi, yaitu secara sah mengubah nama anak dan mengambilnya sehingga mereka secara efektif menjadi anak sendiri. Ini dilarang dalam Islam karena penting untuk menjaga hubungan anak dengan orang tua kandungnya.
Implikasi hukum lain dari hal ini adalah bahwa seorang anak yang secara biologis bukan milik Anda tidak mendapat bagian dalam warisan dan juga dia tidak otomatis menjadi salah satu mahram anda (orang yang dilarang menikah dan tidak berlaku hukum hijab).
Terakhir, bagi mereka yang masuk agama Islam, juga tidak wajib mengganti nama mereka menjadi nama Islam atau Arab meskipun banyak yang memilih untuk melakukannya. Khususnya mengenai nama keluarga dianjurkan agar seseorang menyimpan nama belakang mereka sebagai cara untuk mengenali keluarga dan garis keturunan mereka.
Selama masa Nabi SAW, ketika orang-orang masuk agama baru, satu-satunya contoh nama yang diubah adalah jika seseorang memiliki nama yang membawa makna buruk, misalnya terkait dengan penyembahan berhala. Kalau tidak, itu tidak dianggap perlu dan para sahabat masih dikenal dengan nama ayah mereka, banyak dari mereka telah meninggal sebagai nonmuslim dan musuh Nabi SAW, misalnya Ikrimah bin Abi Jahal.
Sementara itu, terdapat hal-hal yang mengancam al-nasab dan al-nasl dan karenanya dilarang. Pertama, larangan dan hukuman zina. Istilah zina digunakan untuk menggambarkan semua hubungan seksual di luar nikah, baik sebelum menikah atau sesudah menikah. Keduanya sangat serius dalam Islam dan karena itu zina dikategorikan sebagai salah satu dosa besar (kaba’ir).
Dalam Al-Qur’an kita diperingatkan, “Dan janganlah kamu mendekati zina. Sungguh, itu adalah perbuatan yang memalukan dan jalan yang buruk” (QS. Al-Isra 17: 32).
Larangan zina adalah mutlak dan tanpa kecuali. Zina merupakan perbuatan yang merusak unit masyarakat yang paling dasar, yaitu keluarga dan juga mengakibatkan lahirnya anak di luar perkawinan.
Tujuan syariat melindungi dari kekacauan tersebut dan kerusakan unit keluarga yang disebabkan secara langsung oleh hubungan perzinaan dan secara tidak langsung karena stigma yang melekat pada perzinaan dan percabulan.
Karena keseriusan zina, hukuman yang ditentukan (hudud) dalam syariah juga ketat. Selain untuk menghukum pelaku, hudud juga berfungsi sebagai efek jera bagi orang lain.
Hukuman ini terus menjadi topik perdebatan hingga saat ini karena sebagian suara berpandangan bahwa hukuman tersebut terlalu keras dan sudah ketinggalan zaman. Sebagian besar disebabkan kesalahpahaman di kalangan muslim dan nonmuslim dan karena beberapa negara menerapkannya secara tidak benar.
Karena itu, hukuman zina ditentukan secara eksplisit dalam Al-Qur’an sehingga merupakan bagian tak terpisahkan dari syariah: “Wanita dan pria yang bersalah karena perzinaan atau percabulan, dicambuk masing-masing dengan seratus cambukan.” (QS. Al-Nur 24:2).
Hukuman untuk zina bagi orang yang sudah menikah (muhsan) diuraikan dalam hadis Nabi Muhammad SAW di mana hukumannya adalah rajam.
Hukuman rajam memang sangat berat, seimbang dengan kejahatannya. Persyaratan untuk menerapkan hukum rajam juga cukup ketat. Agar hukuman ini dapat dilaksanakan terhadap kejahatan zina, maka dibutuhkan empat orang saksi yang melihat dengan mata kepala sendiri tindakan penetrasi atau pengakuan dari pihak berbuat.
Bukti apa pun yang kurang dari ini tidak dapat diterima dan tidak akan mengarah pada penerapan hukuman ini. Bahkan orang yang menuduh orang lain melakukan zina tanpa bukti-bukti, maka yang menuduh akan dikenakan hukuman.
Standar pembuktian yang sangat berat ini telah menyebabkan beberapa orang berpendapat tujuan di balik hukuman ini sebenarnya adalah untuk menjaga ketertiban umum. Banyak sarjana bahkan berpandangan bahwa kehamilan tidak dianggap sebagai bukti yang cukup untuk perzinahan atau percabulan. Hal ini tergambar dari sabda Nabi Muhammad SAW yang terkenal, “Jauhkan hudud dalam semua kasus yang meragukan” (HR. al-tirmidzi).
Jika ada keraguan apa pun, maka hukuman hadd tidak diterapkan. Ini mirip dengan konsep “keraguan yang masuk akal” dalam sistem hukum Barat. Bahkan jika seorang pria dan wanita yang belum menikah ditemukan di tempat tidur bersama, kecuali tindakan penetrasi disaksikan oleh empat orang, belum cukup bukti untuk mengadili mereka atas kejahatan zina.
Tulisan ini juga dimuat di Kolom Publika Solopos