Oleh Prof. Dr. Zakiyuddin Baidhawy, M.Ag.
Kehidupan itu suci. Menjaga kehidupan merupakan jihad di jalan Allah. Membunuh satu jiwa sama dengan membunuh seluruh umat manusia; menghidupi satu jiwa sama nilainya dengan menghidupi seluruh umat manusia.
Pemenuhan kebutuhan untuk menjaga kehidupan mencakup kebutuhan dasar fisiologis meliputi pangan, sandang, papan, dan jaminan bagi pemeliharaan kesehatan. Distribusi akses ini mencakup kebutuhan-kebutuhan pokok untuk mencukupi makan-minum (ith`am, feeding), memberi pakaian (kiswah, wearing) dan menempatkan mereka pada perumahan-perumahan sederhana (housing). Maksud dari skema ini adalah agar mereka tetap memperoleh jaminan untuk dapat bertahan hidup (survival) dan sustainable.
Agar pemenuhan kebutuhan di atas tercapai, maka suatu keniscayaan menyediakan akses bagi setiap orang atas kebutuhan fisiologis dan kebutuhan dasar (basic needs) tersebut. Hal ini membutuhkan informasi lebih rinci dari data survei rumah tangga menyangkut asupan kalori, tingkat keamanan makanan, informasi rumah tangga berkaitan dengan kualitas rumah, aset-aset tetap, belanja untuk barang-barang tahan lama seperti belanja makanan, produksi rumah tangga, belanja non-makanan, dan penduduk tanpa akses pada sumber daya air bersih.
Akses pada layanan kesehatan juga perlu didistribusikan secara merata kepada setiap warga. Akses kesehatan ini penting untuk menjamin tingginya angka harapan hidup pada kelahiran, kecilnya angka kematian anak-anak dan penduduk kurang gizi, tingginya kelahiran yang ditangani oleh tenaga medis terampil, dan tingginya persentase warga yang diimunisasi.
Islam memberikan penghargaan tertinggi pada upaya kita untuk memberikan nutrisi bagi kesehatan nafs yang mencakup dimensi rohani dan jasmani. Karena itu, Islam sangat menekankan upaya pemeliharaan jiwa (hifzh al-nafs) dengan memperhatikan makanan bagi jiwa. Menjaga kesehatan tubuh jasmani sangat diperlukan agar rohani juga tetap sehat supaya dapat melayani pencapaian materi dan spiritual sekaligus.
Dengan cara ini, dalam banyak agama terdapat larangan khusus terhadap perilaku tidak layak yang tidak hanya merusak secara fisik namun juga berbahaya secara rohani. Salah satu yang patut diperhatikan dalam memelihara jiwa ini adalah nutrisi. Banyak agama percaya bahwa makanan bukan hanya bahan bakar atau kalori dan nutrisi untuk pertumbuhan dan perkembangan, tetapi juga untuk kesenangan dan kebahagiaan. Pada akhirnya, jiwa kita memperoleh kematangan rohani melalui makanan yang dikonsumsi jasmani dan pola makan yang dijalankan.
Ini menggambarkan betapa ada relasi kuat antara kebutuhan-nutrisi jasmani dan kebutuhan-nutrisi rohani – yang keduanya merupakan dua dimensi dari memelihara jiwa. Dengan cara ini sebagian besar agama memiliki pedoman gizi khusus mengenai makanan apa yang harus dimakan atau dihindari untuk meraih kebahagiaan rohani.
Dalam budaya Islam, kesehatan didefinisikan sebagai menikmati berbagai bentuk kondisi fisik, mental, sosial, dan spiritual yang diinginkan, yang memungkinkan seseorang mencapai kehidupan yang memuaskan dan membahagiakan. Kehidupan rohani manusia tergantung pada sikap mereka terhadap dunia.
Dalam pendekatan humanistik, kehidupan rohani berkaitan dengan aspek kemanusiaan yang mengacu pada cara individu mencari dan mengungkapkan makna hidup, dan cara mereka mengalami keterhubungannya dengan saat ini, diri sendiri, orang lain, alam, dan dengan lingkungan, dan dengan yang suci. Kata spiritualitas dan turunannya tidak digunakan dalam sumber-sumber Islam yang asli (Al-Qur’an dan hadis), tetapi Islam menyebutnya dengan “rohani”.
Konsep ini dapat ditemukan dalam Al-Qur’an secara eksplisit dengan menggunakan istilah-istilah seperti kehidupan yang murni dan baik (hayah thayyibah) dan hati yang murni (qalb salim). Hayah thayyibah diartikan sebagai suatu bentuk kehidupan manusia yang tidak lepas dari kehidupan bersama. Artinya, walaupun kehidupan murni adalah kehidupan selain kehidupan duniawi, namun kehidupan itu terkait dengan kehidupan duniawi.
Manusia menikmati kehidupan yang murni; tanpa kotoran. Menurut akidah Qurani, manusia mengalami kehidupan yang istimewa (hayah thayyibah) berdasarkan iman kepada Allah. Allah digambarkan memiliki sifat-sifat kelekatan: yaitu yang dekat, responsif, dan penyayang; dan yang memberikan keamanan dan perlindungan pada saat bahaya. Sebagaimana Allah dalam Al-Qur’an 8:25 menyatakan bahwa orang-orang beriman senantiasa memenuhi seruan Allah dan Rasul-Nya ketika dia memanggilmu pada apa yang menghidupkanmu.
Ketahuilah bahwa Allah berada di antara manusia dan hatinya dan bahwa kepada-Nya kamu semua akan dikumpulkan. Meskipun syarat pertama realisasi spiritualitas dalam Al-Qur’an adalah iman kepada Tuhan, tetapi itu bukan syarat yang cukup. Namun demikian, selain beriman kepada Tuhan, manusia harus melakukan perbuatan baik.
Allah pasti akan menganugerahkan kehidupan yang suci dan baik di dunia ini hanya kepada orang-orang beriman yang melakukan perbuatan baik atau amal saleh.
Qalb Salim (hati yang suci) dalam Al-Qur’an adalah istilah lain yang mengungkapkan ruhani atau spiritualitas Islam. Hati adalah sumber kebajikan dan keburukan moral. Hati yang suci adalah suatu keadaan jiwa (nafs) yang di dalamnya kita dapat menemukan sifat-sifat yang baik seperti, berpikir, takut akan Tuhan, iman, kebajikan, kepercayaan, kasih sayang kepada orang lain dan kedamaian.
Beberapa intelektual Islam modern berusaha mendefinisikan ruhani/spiritualitas berdasarkan tradisi Islam. Imam Khomeini, misalnya berkata: ruhani/spiritualitas adalah kumpulan atribut dan perbuatan yang menciptakan nafsu, emosi dan daya pikat yang logis, benar dan kuat dalam diri manusia untuk memajukannya secara ajaib di jalan menuju Tuhan yang unik dan dicintai. Yang merupakan aspek dominan dan mendasar dalam ruhani/spiritualitas adalah perhatian kepada Tuhan dan bertindak untuk-Nya, harus diperhatikan baik dalam niat dan tindakan bahwa Tuhan hadir dan mengamati.
bersambung…
Tulisan ini juga dimuat di Kolom Publika Solopos